CELEBES IMAGES, Takalar — Di Sungai Cikoang, pesta ritual Maudu Lompoa hadir melalui benda-benda yang sarat makna. Warna-warna cerah, anyaman lontar, dan susunan telur berwarna merah jambu adalah narasi visual dari denyut tradisi ini.
Perahu-perahu hias julung-julung yang berjejer di tepi sungai dengan tubuh dipenuhi sarung-sarungan, kain batik, hingga potongan busana sehari-hari yang berkibar tertiup angin. Di balik helaian kain itu, tertata rapi rangkaian telur rebus dicat merah muda nan pekat, disusun membentuk piramida. Telur-telur itu berfungsi sebagai lambang keberkahan dan rezeki yang kelak dibagikan setelah doa bersama.
Adalah suatu hal untuk diperhatikan, bahwa ruang visual Maudu Lompoa tahun ini tetap didominasi oleh benda-benda alami. Telur, daun lontar, bambu, kelapa, dan hasil bumi menjadi pusat perhatian, seolah menegaskan akar ekologis tradisi ini.
Hanya kain yang menutup kapal, tali-temali, dan cat yang melekat di tubuh perahu berasal dari dunia kontemporer. Sisanya tumbuh dari alam, hadir dalam bentuk apa adanya, dan diolah tangan manusia menjadi simbol spiritual.
Pernak-pernik dari daun lontar yang dianyam telaten menghadirkan ritme visual khas. Anyaman itu membungkus baku maudu berisi ka’do minynya (nasi ketan), ayam kampung, dan hasil bumi, lalu dihiasi ornamen berbentuk bintang, spiral, dan bunga.
Dominasi benda alami ini menandai cara tradisi diwariskan. Dari telur yang direbus, lontar yang dianyam, hingga bambu yang dipotong dan dibentuk, semuanya berbicara tentang kesinambungan antara generasi lama dan baru. Ia menjadi warisan kebendaan lahiriah yang dapat disentuh, sekaligus lambang batiniah yang mengikat spiritualitas masyarakat pada nilai-nilai Islam dan kearifan lokal.
Warna merah, ungu, dan emas memantul dari pita, kertas hias, dan bunga plastik yang menyertai. Meski unsur kontemporer hadir di sana, dominasi benda ekologis tetap terasa lebih kuat, seolah menolak untuk tersingkir dari ruang ritual. Tradisi ini seakan ingin menunjukkan bahwa nilai spiritual lahir dari keseimbangan antara benda alami dan hiasan modern.
Di antara hiruk pikuk, detail kecil semakin meneguhkan makna itu: kitab yang terbuka di pangkuan, dupa yang mengepul dari wadah tanah liat, serta rempah-rempah kering yang terhampar di sisi para pembaca doa. Semua itu menghubungkan Maudu Lompoa dengan spiritualitas yang lebih dalam, suatu ruang di mana benda, warna, puja-puji kesyukuran, dan doa saling menjalin untuk mempertebal keyakinan.
Kitab kecil itu barangkali serupa pusat dari pusaran spritualitas Maudu Lompoa. Ritus ini adalah bentuk syukur dan kegembiraan atas kelahiran sosok manusia teragung, Baginda Muhammad SAW. Maka pelantunan salawat, utamanya Salawat Barzanji menjadi sesi pemuncak dari rangkaian acara. Setelahnya adalah bagaimana merajut kembali kehidupan bersama, dengan simbolisasi berbagi segala hal yang dibawa perahu dan keranda julung-julung.
Instrumen musik sederhana berupa gong dan gendang turut mewarnai arak-arakan perahu di Sungai Cikoang. Dentuman gong berpadu dengan irama gendang menciptakan suasana ritmis, mengiringi langkah masyarakat yang sibuk memikul baku maudu maupun berdiri menikmati jalannya pesta. Alunan itu membuat perayaan tidak hanya tampak, tetapi juga bergetar di dalam dada para hadirin.
Bunyi gong dan gendang juga mengiringi permainan silat di tepian sungai. Para pesilat melompat, menangkis, dan saling beradu gerak dengan penuh semangat, sementara masyarakat bersorak memberi dukungan. Pertunjukan silat tersebut menjadi cerminan keberanian dan vitalitas, mempertebal kegembiraan Maudu Lompoa, serta menegaskan bahwa musik, gerak, dan ritus adalah kesatuan yang tidak terpisahkan.
Di sisi lain, hiasan dari anyaman daun lontar adalah perwujudan estetis spiritual yang membumi dan sederhana. Ekspresi rupa seperti ini terkadang sepele, tidak diperhatikan dan berlalu begitu saja, padahal persembahan ini adalah titian menuju langit. Dunia kehambaan dengan dekorasi alamiah serupa penegasan kesatuan manusia dengan alam sekitarnya yang sedang membahasakan spritualitasnya.
Bintang Daud dalam bentuk anyaman spiral barangkali menjadi salah satu simbol spesifik spritualitas agama paling tua yang hadir di Maudu Lompoa. Perlambangan Bintang Daud sebenarnya bukan suatu hal yang asing bagi masyarakat Sulawesi Selatan, sebab terkadang juga ditemui pada ornamen senjata pusaka, semisal terpatri pada wanua (sarung) keris.
Menariknya, simbol tua ilahiah ini hadir dalam bentuk spiral yang tak putus seakan menegaskan bahwa Maudu Lompoa adalah suatu simpul kontuinitas babakan penghambaan yang tidak putus. Sejak dahulu kala hingga kini, sejak zaman Nabi Daud AS hingga umat Rasulullah SAW, sejak kedatangan Sayyid Al-Aidid hingga anak keturunnannya kini. Laku sebagian masyarakat khususnya di jazirah Selatan, Sulawesi Selatan, yang masih terus berpuasa Daud seolah direpresentasi oleh simbol ini.
Dari kain yang berkibar, telur berwarna, hingga anyaman lontar yang berkilau di bawah matahari, semuanya menjadi kesaksian bahwa Maudu Lompoa adalah tradisi ekologis dan spiritual yang berusaha tetap dominan di tengah-tengah dunia kontemporer. Sungai Cikoang pun kembali menegaskan dirinya sebagai ruang pewarisan nilai, di mana alam, benda, dan manusia saling bertaut dalam arus yang tak pernah berhenti.
*Foto dan teks: Darmadi H. Tariah