Cerita di Balik Lensa Watch On Fest Makassar 2025

Cerita di Balik Lensa Watch On Fest Makassar 2025

Read Time:1 Minute, 54 Second

CELEBES IMAGES, Makassar — Makassar kembali berdentum pada 25 September 2025, ketika Watch On Fest yang digelar oleh Bervakansi menghadirkan deretan musisi dari berbagai penjuru, dari talenta lokal hingga nama-nama besar nasional.

Di bawah langit malam Pinisi Point Parking Lot, denting gitar dan sorot lampu berpadu menjadi satu irama yang membangkitkan kerinduan pada suasana konser yang sesungguhnya.

Panggung menjadi ruang pertemuan antara energi penampil dan antusiasme penonton. Dari KIRV, rapper asal Polman dengan lirik-lirik tajamnya; Ratee, band lokal Makassar dengan topeng-topeng khas yang memikat; hingga Sal Priadi dan Panturast, dua musisi nasional dengan pesona panggung yang kuat, semuanya menyulut semangat yang sama, yaitu tentang bagaimana berpadu dalam perayaan musik yang hidup dan membebaskan.

Di antara gemuruh bass dan sorotan lampu warna-warni, gitar tetap menjadi pusat daya tarik yang tak tergantikan. Setiap kali senarnya dipetik, tercipta percakapan tak terucap antara musisi dan penonton.

Gitaris tampil bukan hanya sebagai pengiring, tetapi sekaligus pencerita yang melukis emosi melalui nada. Mereka menghembuskan gelombang rasa melalui lick cepat penuh energi hingga petikan lembut yang menenangkan. Dalam setiap gestur, senyum, dan bayangan tubuh yang diterpa cahaya, gitar menghadirkan bahasa universal yang menghubungkan panggung dengan hati penontonnya.

Sejumlah fotografer yang hadir memilih pendekatan minimalis untuk mengabadikan momen tersebut. Dengan peralatan sederhana, semisal lensa 50mm dan tele 70–200mm, mereka menangkap ekspresi dan dinamika panggung tanpa banyak intervensi.

Cahaya panggung menjadi sumber alami yang memahat siluet dan emosi para penampil, sementara komposisi low key lighting memberi kesan dramatis, mempertegas kedalaman perasaan di balik setiap lagu.

Kontras antara gelap dan terang menampilkan kisah visual tersendiri, serupa refleksi, gairah, dan intensitas yang muncul dari interaksi antara artis dan audiens. Dalam momen-momen seperti itu, konser bukan lagi sebatas tontonan, tetapi lebih jauh sebagai pengalaman kolektif. Konser menjadi sebuah ruang pertemuan antara suara, cahaya, dan perasaan yang sulit dilupakan.

Di penghujung malam, Watch On Fest tidak hanya meninggalkan gema musik di udara, tetapi juga jejak emosi pada setiap orang yang hadir. Ia menjadi ruang untuk merayakan musik sebagai bahasa universal, dan membingkai kembali esensi menikmati pertunjukan. Kadang, kehadiran dalam suasana seperti ini, bukan tentang mengabadikan, melainkan benar-benar mengalami.

*Pewarta Foto: Agung Dewantara