Tubuh yang Tak Tercatat dan Terik yang Tak Terelakkan: Kota, Gender, dan Krisis Iklim

Tubuh yang Tak Tercatat dan Terik yang Tak Terelakkan: Kota, Gender, dan Krisis Iklim

Read Time:7 Minute, 3 Second

Bagian Keempat dari Serial “Kota yang Diperankan”

Oleh Darmadi H. Tariah

Makassar, 4 Mei 2025. Hari terakhir proyek Kota dalam Teater ditutup dengan dua pertunjukan yang menyayat sekaligus merapal harapan. Pagi itu, trotoar panjang di Jalan Pettarani bukan sekadar jalur pejalan kaki, melainkan jalur perlawanan seorang perempuan yang berjalan dengan punggung penuh beban. Siang menjelang sore, halaman depan Benteng Rotterdam berubah menjadi altar sunyi, tempat seorang tubuh perempuan berbaring di bawah kaktus berduri, berkeringat, tertusuk, dan akhirnya menanam. Di hari keempat ini, dua pertunjukan disajikan: Tubuh yang Tak Pernah Dicatat oleh Mega Herdiyanti dan Tubuh Terik oleh Dwi Lestari Johan. Keduanya menyatukan tubuh dan ruang kota dalam kesaksian akan ketimpangan, krisis ekologis, dan ketidakadilan struktural yang selama ini disapu rapi oleh narasi pembangunan.

Tubuh yang Tak Pernah Dicatat: Beban Sosial di Punggung Perempuan Kota

Mega Herdiyanti memulai performansnya dengan mengenakan tas punggung satu per satu hingga punggungnya benar-benar penuh beban. Puluhan tas itu menumpuk di punggungnya, membentuk gunungan beban yang absurd dan mustahil. Ia kemudian berjalan menyusuri trotoar panjang Jalan Pettarani, dari simpang Alauddin hingga Flyover Urip Sumoharjo. Terik matahari menggigit kulitnya, trotoar retak dan penuh rintangan. Ia menerobos halte yang tak bisa lagi disebut halte, melompati pagar pembatas, dan menembus keheningan jalan raya yang hanya bisa dimengerti oleh tubuh yang berjalan di dalamnya.

Mega sedang memainkan tubuh perempuan pekerja informal, khususnya pengemudi ojek online yang menghadapi dunia kerja yang maskulin, penuh stigma, dan minim perlindungan. Dalam konteks ini, performans Mega bisa dibaca melalui lensa Judith Butler dan gagasan performativity-nya: bahwa identitas perempuan tidak melekat begitu saja, tetapi dibentuk, dinegosiasikan, dan sering kali ditolak oleh ruang sosial yang menginginkan keseragaman maskulin.

Tas-tas di punggung Mega bukan sekadar properti. Ia adalah simbol dari “beban ganda” yang dipikul perempuan pekerja: mengurus rumah, mencari nafkah, menjaga anak, menavigasi jalan kota yang brutal, sekaligus menahan cemoohan dari pengguna jalan dan algoritma aplikasi digital. Tas-tas itu adalah patriarki, adalah ketimpangan ekonomi, adalah jam kerja yang panjang, adalah ketidakadilan sistemik. Dan saat Mega akhirnya roboh di tengah perjalanan, tubuhnya tidak menyerah, melainkan menyatakan: “sampai di sini beban ini perlu dibagi.”

Yang menarik, meski pertunjukan resmi dihentikan di tengah jalan, Mega dan rombongannya tetap berjalan hingga titik awal, kali ini tanpa tas di punggungnya. Ini bukan akhir yang tragis, tapi tafsir baru tentang solidaritas. Ia tak lagi berjalan sebagai tubuh tunggal, tetapi sebagai bagian dari komunitas yang mau berbagi beban. Di sinilah performans ini melampaui simbolisme dan menjadi praktik etik yang hidup. Mega, dengan tubuhnya, menyatakan bahwa ketahanan bukanlah mitos individual, melainkan hasil dari keberanian untuk mengatakan cukup, dan berjalan bersama.

Dalam pemikiran Emmanuel Levinas, tanggung jawab etis lahir dari pertemuan dengan wajah yang lain. Ketika kita melihat Mega berjalan di trotoar, berkeringat, tertatih, kita tidak bisa lagi melihatnya sebagai “perempuan pekerja” yang asing. Ia adalah wajah yang memanggil: “lihat aku, hitung aku, catat aku.” Tubuh yang Tak Pernah Dicatat adalah tubuh yang meminta kota untuk menulis ulang buku besar Pembangunan, agar tak lagi mengabaikan mereka yang menopang kehidupan kota tanpa pernah dianggap bagian darinya.

Tubuh Terik: Ritual Perlawanan di Bawah Matahari yang Membakar

Di halaman Benteng Rotterdam, di bawah langit Makassar yang terik dan kering, Dwi Lestari Johan hadir dalam balutan gaun putih, tubuhnya telanjang oleh panas. Bersamanya, sebuah kaktus besar, berat dia junjung. Ia mulai mencabut satu per satu duri dari batang kaktus itu, menyebarkannya di atas lembaran putih yang ia pijak. Lalu ia rebah, dan kaktus itu ditidurkan di atas tubuhnya. Ia tertusuk. Ia bergeming. Ia mengangkat kaktus itu, menimbangnya, memastikan seluruh durinya telah tercabut. Kemudian, dengan langkah pelan, ia kembali menjunjung kaktus itu menuju taman, bersusah payah menanamnya, lalu menyiramnya.

Performans ini adalah ritus ekologi, ritus tubuh, ritus harapan. Dalam tubuhnya yang tertusuk dan penuh peluh, Dwi Lestari Johan sedang berbicara tentang krisis iklim yang tak lagi bisa dimaknai hanya lewat angka dan data. Ia menunjukkan bahwa perubahan iklim bukan sekadar isu global, tetapi realitas lokal yang menghujam tubuh: panas yang membuat orang sakit kepala, kulit terbakar, aktivitas terganggu, dan ruang hijau lenyap demi beton dan jalan tol.

Dalam performans ini, tubuh menjadi medium penyimpanan luka ekologis. Kita teringat pada Gilles Deleuze dan Félix Guattari, yang dalam A Thousand Plateaus menyebut tubuh sebagai “a body without organs”—tubuh yang tak lagi terikat pada fungsi biologisnya, tetapi terbuka untuk transformasi, untuk menjadi tempat bagi pengalaman dan makna. Dwi Lestari menjadikan tubuhnya sebagai media tumbuhnya kesadaran: bahwa manusia, seperti kaktus, bisa bertahan dalam keterasingan, bisa menyimpan air di dalam kesunyian, bisa menunggu waktu yang tepat untuk mekar.

Namun, performans ini juga menyampaikan kritik sosial yang tajam: kaktus tidak seharusnya hidup di tempat ini. Ia hadir karena tanah telah kehilangan kesejukan, karena pohon-pohon telah digantikan papan reklame, karena sungai telah disemen dan langit kehilangan warna. Dengan menanam kaktus, Dwi Lestari bukan sedang menyerah pada gurun, tapi menyatakan: “jika kota tak bisa lagi meneduhkan, maka kita harus belajar bertahan.”

Menarik bahwa performans ini ditutup dengan tindakan sederhana: menyiram. Setelah tubuh ditusuk, setelah panas dipeluk, setelah luka didera, air kembali diberikan. Dalam tindak itu, ada simbol kasih, ada pemeliharaan. Performans ini adalah bentuk care ethics, konsep etika yang ditekankan oleh pemikir seperti Carol Gilligan yang menempatkan perawatan, empati, dan relasi antar-tubuh sebagai pusat dari tindakan moral. Dwi Lestari tidak mengutuk kota, tapi merawat luka yang ditinggalkannya.

**

Hari keempat dari Kota dalam Teater adalah hari tubuh-tubuh perempuan. Tapi mereka bukan tubuh pasrah. Mereka adalah tubuh yang memikul beban sejarah, tubuh yang membentangkan perlawanan di jalan raya, tubuh yang tertusuk tapi tetap menanam. Mereka tidak menjerit, tetapi menegaskan dengan keheningan dan langkah. Mereka tidak menyerang, tapi menyodorkan pengalaman yang tak bisa ditolak.

Mega dan Dwi Lestari menunjukkan bahwa kota bukan hanya milik mereka yang punya modal, tetapi juga milik mereka yang setiap hari menanggung panas, stigma, dan ketidakadilan. Kota dibentuk bukan oleh masterplan, tetapi oleh peluh yang jatuh di trotoar, oleh duri yang tertinggal di kulit.

Penutup Serial: Sepuluh Tahun, Delapan Tubuh, Satu Kota

Dengan delapan performans yang telah berlangsung selama empat hari, Kota dalam Teater 2025 menutup dekade pertamanya bukan dengan gemuruh, tapi dengan keheningan yang mengguncang. Sejak 2015, Kala Teater telah menapaki ruang-ruang kota dengan tubuh sebagai naskah dan warga sebagai aktor. Mereka tidak menciptakan dunia fiktif, tapi menghadirkan dunia nyata yang sering kali disembunyikan oleh narasi resmi: pekerja informal, perempuan yang tak tercatat, warga kumuh, korban banjir, penderita panas ekstrem, pengguna jalan yang dilanggar haknya—semua diberi ruang untuk bicara: melalui tubuh.

Proyek ini telah menempatkan Makassar bukan hanya sebagai lokasi, tapi sebagai subjek. Kota ini bukan latar belakang, tapi aktor yang berbicara, kadang menindas, kadang memberi ruang. Dan seni bukan lagi sekadar estetika, tapi tindakan sosial, ritus kewargaan, dan arsip penderitaan kolektif.

Sebagai penonton yang mengikuti rangkaian pertunjukan, saya tak bisa tidak membayangkan Kota dalam Teater sebagai bentuk kontemporer dari The Madman with a Lantern dalam karya Nietzsche. Kala Teater seperti membawa lentera menyala di siang hari, menembus keriuhan pasar kota, yakni Makassar dengan segala ketimpangannya. Seperti orang gila Nietzsche yang mencari Tuhan di tengah masyarakat yang merasa tak membutuhkannya, Kota dalam Teater memasuki ruang-ruang publik dengan cahaya kecil yang menjungkirbalikkan keterbiasaan, mempertanyakan kepekaan kita pada luka yang sudah terlalu sering dianggap normal. Lentera itu bukan penerang, tapi pengungkap. Ia tidak menambah terang, tapi membongkar gelap yang tersembunyi di balik terang palsu.

Dari posisi itu pula saya berdiri, sebagai penonton yang berpijak pada semangat Roland Barthes. Kacamata saya barangkali serupa pisau signifikansi dua tahap yang ia maksudkan, bukan untuk membunuh subkultur, bukan untuk mematikan ekspresi marjinal, tetapi untuk menguliti wacana dominan yang selama ini membungkus kekuasaan dengan estetika, membungkam tubuh-tubuh yang seharusnya didengar. Kala Teater memperlihatkan bahwa tubuh bukan hanya objek seni, tapi alat pengetahuan; bahwa kota bukan hanya lanskap, tapi medan kuasa yang harus dibaca dan dikritisi.

Dalam empat esai ini, kita telah membaca tubuh-tubuh itu: berputar, duduk, menempelkan cangkang, menggambar rumah, menggendong tas, merebahkan diri di bawah kaktus. Mereka tak hanya melakukan aksi, tapi menawarkan tafsir baru atas kota; bahwa kota adalah tubuh yang bisa luka, tapi juga bisa sembuh jika kita mulai mendengarkan.

Dan seni pertunjukan, seperti yang disaksikan dalam Kota dalam Teater, bukan lagi soal panggung dan naskah, tapi soal siapa yang diberi ruang, siapa yang dianggap, siapa yang diingat. Karena selama masih ada tubuh yang tak tercatat, masih ada luka yang tak diobati, maka teater tidak boleh berhenti. Dan kita, sebagai penonton yang berpikir, tidak boleh diam.