Trauma yang Mengalir dan Nafas yang Terengah: Kota dalam Gangguan Psikis dan Ketimpangan Ruang

Trauma yang Mengalir dan Nafas yang Terengah: Kota dalam Gangguan Psikis dan Ketimpangan Ruang

Read Time:6 Minute, 13 Second

Bagian Ketiga dari Serial “Kota yang Diperankan”

Oleh Darmadi H. Tariah

Makassar, 2 Mei 2025. Hari kedua proyek Kota dalam Teater berlangsung dalam suasana tenang tapi sarat ketegangan yang tersembunyi. Tidak ada teriakan, tidak ada ledakan emosi. Yang ada hanyalah tubuh-tubuh yang bekerja dalam repetisi dan kesenyapan; mengelola ingatan, luka, dan ketimpangan dengan cara yang nyaris tak terdengar. Hari itu, dua performans dipentaskan: Aku Ingin Tidur Lelap oleh Nurul Inayah, dan Kumuh yang Melintas-Lintas oleh Fathur Rahman. Keduanya mengangkat tema yang berbeda namun saling bersahut: tentang kota yang tak memberi ruang untuk tenang, dan tentang ruang yang tak layak disebut kota.

Aku Ingin Tidur Lelap: Cangkang yang Pecah, Tidur yang Retak

Di teras Studio Kala Teater, Nurul Inayah—Naya—berdiri di hadapan selembar kanvas panjang yang digantung tegak. Tangga kecil berdiri tegak di sisinya. Lima nyiru berisi cangkang telur diletakkan berjajar. Satu per satu, Naya menempelkan cangkang itu ke kanvas, mulai dari titik tertinggi, lalu perlahan menurun. Kadang tangga dibutuhkan, kadang tidak. Kadang cangkang melekat, kadang jatuh dan pecah. Sekira dua jam lamanya, hanya itu yang ia lakukan. Tapi justru dari yang “hanya itu” itulah, performans ini bicara lebih keras dari ribuan kata.

Naya sedang berbicara tentang banjir. Tapi bukan hanya banjir sebagai peristiwa ekologis, melainkan sebagai peristiwa psikis. Ia tidak menghadirkan visual air, tidak mencipratkan suara hujan, tidak menyajikan potongan berita. Ia menghadirkan yang lebih esensial: rasa takut, rasa waswas, rasa tidak bisa tidur. Setiap cangkang yang ia tempel adalah metafora dari rasa genting itu. Tipis, rapuh, bisa pecah kapan saja; seperti tidur warga kota yang terjaga oleh suara hujan di tengah malam. Karena mereka tahu, air bukan lagi teman musim, tapi ancaman yang bisa menghapus perabot, penghidupan, dan ketenangan jiwa.

Di sini, performans Naya bisa dibaca melalui pemikiran Gaston Bachelard dalam The Poetics of Space. Bachelard mengatakan bahwa rumah adalah tempat perlindungan psikis; ia bukan sekadar bangunan fisik, tetapi struktur batin. Ketika rumah terancam banjir, maka bukan hanya dinding yang retak, tapi juga rasa aman yang hancur. Tidur, dalam konteks ini, adalah simbol dari kepercayaan paling dalam bahwa kita bisa merasa aman. Dan ketika itu hilang, maka seluruh dunia retak.

Cangkang telur menjadi simbol sempurna dari perasaan itu. Ia adalah “kulit” perlindungan, sekaligus simbol dari kehidupan yang paling rapuh, sebuah juxtapose paripurna. Setiap cangkang yang pecah dalam performans ini adalah representasi dari trauma kolektif yang tak tertangani. Naya tidak marah, tidak menangis, tapi tubuhnya menyimpan semuanya. Dan kita, yang menonton, merasakan kegelisahan itu bukan dari suara, tapi dari bunyi pecahnya cangkang, dari keheningan yang panjang, dari repetisi yang tak berujung.

Dalam karyanya The Body in Pain, Elaine Scarry menyebut bahwa rasa sakit sulit untuk direpresentasikan karena ia begitu individual dan tak bisa dijelaskan secara utuh. Performans Naya justru menunjukkan bahwa cara paling jujur untuk mengungkap trauma adalah dengan tak mengatakan apa-apa, hanya mengulang gerakan yang sama, membiarkan tubuh menyampaikan kesaksian yang tak bisa dituturkan.

Performans ini juga bisa dibaca sebagai bentuk perlawanan. Dalam keheningan itu, Naya tidak tunduk. Ia bekerja. Ia menyusun. Ia mencoba memberi bentuk pada rasa takut yang tak terucap. Inilah bentuk lain dari kewargaan. Bukan dalam bentuk unjuk rasa, tapi dalam bentuk kerja kecil, telaten, nyaris domestik, tapi penuh makna. Dalam semangat itu, Naya bersua dengan Judith Butler, yang menyebut bahwa tubuh bukan hanya objek dari kekuasaan, tapi juga medium dari resistensi. Ketika tubuh tampil di ruang publik dengan cara yang tak biasa, ia sedang menggugat narasi dominan: bahwa banjir hanyalah bencana teknis, bahwa tidur hanyalah urusan pribadi. Tidak. Tidur adalah hak warga. Dan ketika kota tak bisa menjaminnya, maka kota telah gagal.

Kumuh yang Melintas-Lintas: Arang, Kardus, dan Arsitektur yang Gagal

Sore hari, di rooftop pusat perbelanjaan modern, Mall Nipah, Fathur Rahman duduk di atas hamparan kardus bekas. Ia mengenakan jas, tapi di bawahnya hanya celana pendek. Di hadapannya, kardus, arang dan cat tembok. Dengan tangan yang kotor, ia mulai menggambar rumah demi rumah di setiap sisi kardus; garis sederhana, bentuk kotak, atap miring, semuanya tampak ringkih. Ia terus menggambar, menorehkan arang seperti menulis sejarah, melukis bukan untuk keindahan, tapi untuk menyimpan kesaksian.

Yang menarik di sini bukan hanya gambar-gambarnya, tapi media yang ia pilih: kardus. Material bekas, rapuh, mudah hancur. Inilah metafora paling kuat dari permukiman kumuh di kota: dibangun di atas sesuatu yang bisa runtuh kapan saja. Arsitektur darurat yang menunjukkan betapa warga miskin kota dipaksa membangun kehidupan dari sisa-sisa. Fathur tidak melukis di kanvas, karena kehidupan di permukiman kumuh tidak diberi kanvas oleh negara. Yang ada hanya kardus, dan arang.

Dalam pembacaan Henri Lefebvre, kota bukan hanya ruang fisik, tapi medan konflik simbolik dan politik. Siapa yang boleh tinggal di mana, siapa yang mendapat ruang layak, siapa yang hanya boleh tinggal di antara kanal dan got; semuanya adalah keputusan politik yang disamarkan sebagai “realitas sosial.” Performans Fathur membuka realitas itu. Ia menampilkan bukan hanya permukiman kumuh, tapi juga kekumuhan keputusan politik yang membiarkan 299 hektare wilayah di Makassar tetap dalam kondisi tak manusiawi.

Yang lebih menarik, performans ini berlangsung di rooftop pusat belanja; tempat paling steril dari wacana kekumuhan. Di sinilah pertarungan simbolik berlangsung. Di atas ruang komersial, Fathur menghadirkan suara mereka yang paling terpinggirkan. Ia membawa “kumuh” ke tempat yang “rapih,” dan dengan begitu, ia merusak kenyamanan semu dari kota neoliberal. Ini adalah bentuk reclaiming ruang dalam pengertian yang sangat literal.

Fathur, dengan performansnya yang tenang tapi intens, juga menyentuh pemikiran Allan Kaprow, bahwa seni harus menyatu dengan kehidupan. Lukisan di atas kardus bukan hanya estetika, tapi tindakan sosial. Tangan yang menghitam karena arang bukan hanya efek teknis, tapi bentuk keterlibatan langsung. Penonton tak bisa lagi menjadi “pengamat netral.” Mereka dihadapkan pada pemandangan yang mengganggu, yang membuat mereka bertanya: “Apakah saya juga bagian dari sistem yang membiarkan ini semua?”

**

Baik performans Naya maupun Fathur, keduanya bicara dengan bahasa yang senyap tapi dalam. Mereka tidak meminta belas kasihan, tidak mencari panggung heroik. Yang mereka tampilkan adalah bentuk paling jujur dari seni kota: seni yang tumbuh dari bawah, dari penderitaan yang konkret, dari tubuh-tubuh yang tak punya kemewahan untuk bersuara di ruang-ruang formal. Dalam keheningan mereka, kita mendengar paling banyak.

Hari itu, Kota dalam Teater kembali membuktikan kekuatannya sebagai teater kewargaan. Proyek ini bukan ruang representasi, tapi ruang penghadiran. Ia tidak mewakili warga; ia adalah warga itu sendiri. Dan tubuh yang tampil di panggung bukanlah aktor, tapi warga kota yang membawa cerita, luka, dan pertanyaan yang selama ini dipendam.

Naya bertanya: bisakah aku tidur dengan tenang?
Fathur bertanya: apakah rumahku cukup layak untuk disebut rumah?
Kita, yang menonton, hanya bisa diam, lalu merasa tercekik oleh jawaban yang tidak kita temukan.

Dua performans hari itu memperkuat satu hal: kota bukan milik mereka yang bisa membeli ruang, tetapi milik mereka yang terus berusaha hidup di tengah reruntuhan, di tengah banjir, di atas kardus, di bawah rasa takut. Kota dalam Teater, di tahun ke-10-nya, menunjukkan bahwa seni masih bisa jujur, bahwa tubuh masih bisa bicara, dan bahwa luka masih bisa dipanggungkan agar tidak menjadi trauma yang membusuk dalam diam.

Dalam dunia yang makin riuh oleh konten yang tak bermakna, proyek ini mengajarkan kita untuk memperlambat langkah, memperhatikan yang kecil, dan mendengar yang pelan. Karena justru di situlah, kehidupan kota yang paling hakiki sedang berlangsung, bukan di rapat wali kota, bukan di berita utama, tapi di tangga kayu yang menopang tubuh perempuan yang tak bisa tidur, dan di garis arang yang menggambarkan rumah-rumah yang tak pernah masuk peta.