Membaca Camera Lucida, Roland Barthes

Membaca Camera Lucida, Roland Barthes

Read Time:2 Minute, 23 Second

Bagian 1: Perkenalan

Barthes bukanlah seorang fotografer, melainkan seorang filsuf dan kritikus yang secara mendalam merefleksikan sifat dasar fotografi sebagai medium. Camera Lucida: Reflection on Photography (1980), buku terakhir yang ditulisnya sebelum wafat, merupakan kontribusi terbesarnya terhadap studi fotografi.

Di dalam buku ini, Barthes menggeser perhatian dari analisis teknis atau formal terhadap fotografi menjadi pemahaman yang lebih eksistensial dan emosional. Melalui eksplorasi foto sebagai penanda ingatan dan kehilangan, ia menggali dampak mendalam yang dimiliki gambar pada persepsi kita tentang realitas dan berlalunya waktu.

Barthes mendefinisikan fotografi sebagai “apa yang telah terjadi,” menyoroti bagaimana fotografi terkait dengan masa lalu dan menangkap momen yang tidak dapat dihidupkan kembali, memadukan ingatan dengan pengalaman melihat. Pemikiran mendalam ini mendorong orang untuk memikirkan lebih dari sekadar gambar, tetapi juga perasaan yang dibawanya, mengubah cara kita melihat sesuatu menjadi perjalanan pribadi yang terhubung dengan masa lalu dan ingatan kita sendiri.

Dengan demikian, Barthes mendorong orang untuk memikirkan hubungan mereka sendiri dengan gambar, mendorong mereka untuk merenungkan bagaimana foto bertindak sebagai cermin dari apa yang terjadi sebelumnya dan pemicu refleksi diri. Interaksi antara gambar dan kenangan ini tidak hanya membantu kita memahami apa yang terjadi di masa lalu (sejarah) tetapi juga memainkan peran besar dalam bagaimana kita membangun identitas kita hari ini, mendorong kita untuk memikirkan cerita yang kita jalin dari potongan-potongan masa lalu kita.

Konsep studium dan punctum, dua istilah yang diperkenalkan oleh Barthes dalam Camera Lucida, menjadi kerangka penting untuk memahami fotografi. Studium merujuk pada aspek yang lebih umum dari sebuah foto yang bisa dipahami secara kultural—sebuah pemahaman yang didasarkan pada konteks sosial-kultural dan pengetahuan bersama. Sedangkan punctum menggambarkan unsur emosional yang tak terduga yang “menusuk” atau menggugah individu secara pribadi.

Dengan memperkenalkan konsep punctum, Barthes mengubah cara kita memahami pengalaman melihat fotografi. Alih-alih fokus hanya pada kode-kode budaya atau makna yang terkandung secara eksplisit dalam gambar (yang merupakan pendekatan semiotika klasiknya dalam karya sebelumnya seperti Mythologies), Barthes menekankan dimensi afektif dan subjektif dari persepsi fotografi. Dia menyoroti bagaimana gambar bisa memicu kenangan atau emosi yang bersifat sangat personal, yang melampaui penjelasan kognitif atau logis.

Bayangkan kita sedang melihat sebuah foto, misal foto di mana kita ada di dalamnya, lalu berbagai hal seperti percakapan, perasaan, kondisi mental, dan sebagainya yang tidak nampak pada gambar muncul kembali di ingatan kita. Seperti itulah awal memahami punctum secara sederhana. Ada sesuatu yang tidak terbatas -barangkali sepadan dengan konsep konteks- yang tidak terlihat dalam frame foto tersebut.

Kontribusi Barthes, salah satunya melalui buku ini menjadikan studi fotografi lebih mendalam dan kompleks, membuka ruang bagi penelitian yang mengeksplorasi interaksi antara objek visual, pengalaman pribadi, dan ingatan kolektif. Selain itu, Camera Lucida telah memperluas pemahaman fotografi dari sekadar sarana dokumentasi atau seni visual menjadi medium yang merefleksikan ketidakhadiran, kematian, dan memori. Dengan demikian, Barthes menghubungkan fotografi dengan aspek ontologis dan eksistensial, menjadikan pemikirannya landasan dalam kajian visual dan estetika kontemporer. [Darmadi H. Tariah]