Liang Kabori, Lukisan Abadi di Dinding Waktu

Liang Kabori, Lukisan Abadi di Dinding Waktu

Read Time:2 Minute, 20 Second

CELEBES IMAGES, Raha – Di ujung Pulau Muna, menghampar sebuah ruang sunyi yang dipahat bukan oleh waktu semata, tetapi juga oleh tangan-tangan leluhur yang merajah pesan purba pada dinding “mansion” mereka.

Gua Liang Kabori, yang dalam bahasa Muna berarti “gua tulis,” bukan sekadar cekungan batu, melainkan sebuah manuskrip bebatuan yang menyimpan kisah ribuan tahun silam.

Menapaki jalan menuju Liang Kabori seperti berjalan dalam lorong masa lalu. Udara di dalam gua senantiasa sejuk dengan kelembapan dan aroma tanah tua, di mana dinding-dindingnya memendar dalam bisu, terkena pendaran cahaya matahari sore bulan April.

Dinding-dinding itu, sebagian menghitam, diterpa asap perapian saat masih menjadi hunian. Karbon purba itu jadi penanda kehidupan yang tak lagi bernyawa, tapi tak pernah benar-benar mati.

Seni leluhur di dinding batu kompleks Leang Kabori memiliki 186 motif. Lukisan purba yang membentang dari langit-langit hingga kaki gua, dari sisi utara hingga barat, menyelimuti ruang tunggal tempat mereka ditorehkan.

Di sini, leluhur mengabadikan jejak pemikiran dan spiritualitas mereka: manusia yang berburu dan berperahu, binatang-binatang liar yang melintas dalam diam, hingga simbol geometris dan abstrak yang masih menyimpan teka-teki.

Motif Liang Kabori memiliki karakter unik. Warna dominan adalah cokelat, berasal dari bahan oker alami yang dicampur dengan air liur atau getah pohon, dioleskan dengan kuas purba dari serat alam.

Hanya satu lukisan di panil 34 yang berbeda, ia gelap, berwarna hitam, seolah ingin menandai sesuatu yang tak bisa diungkapkan kata.

Motif-motif manusia di Liang Kabori bukan hanya representasi tubuh. Otif-motif ini adalah potret naratif yang menunjukkan adanya struktur sosial, sistem kepercayaan, bahkan mungkin mitologi lokal.

Sebagian arkeolog menduga bahwa gambar-gambar ini adalah bagian dari ritual: mungkin doa agar hasil tangkapan melimpah, mungkin pemujaan terhadap leluhur yang menjaga gua ini.

Ada pula motif-motif yang tak bisa kita tafsirkan dengan pasti. Garis-garis lurus, lingkaran, spiral, dan bentuk tak beraturan yang ditafsir sebagai simbol abstrak.

Mungkin mereka lambang arah angin, mungkin kalender astronomi. Atau, bisa jadi hanya perasaan jiwa purba yang ingin dilepaskan ke dinding batu agar abadi.

Liang Kabori bukan hanya warisan arkeologi. Ia adalah penanda identitas, bukti bahwa para leluhur Pulau Muna pernah hidup dan berpikir dalam narasi visual yang cerdas. Di balik setiap goresan, ada niat dan cerita.

Para peneliti dari Universitas Halu Oleo mencatat bahwa teknik kuasan menjadi ciri khas penggambaran cadas di Liang Kabori. Warna merata, tebal, dan mantap. Tidak ada kesan terburu-buru. Ini adalah pekerjaan yang dilakukan dengan kesadaran spiritual tinggi.

Dalam dunia yang semakin hiruk-pikuk oleh digitalisasi dan pelupa budaya, Liang Kabori adalah pengingat keras: bahwa manusia pernah dan bisa hidup berdampingan dengan alam dan mistik. Ia adalah ruang sunyi, tempat sejarah tak ditulis dengan pena, tetapi dilukis dengan jiwa.

(Foto & Teks: Darmadi H. Tariah)