Kota yang Diperankan: Membaca Tubuh, Menembus Batas Ruang

Kota yang Diperankan: Membaca Tubuh, Menembus Batas Ruang

Read Time:5 Minute, 21 Second

Bagian 1: “Tubuh Kota, Kota Tubuh: Teater sebagai Ruang Perlawanan”

oleh Darmadi H. Tariah

Sudah sepuluh tahun Kala Teater menanam tubuh-tubuhnya di lorong-lorong Makassar. Sejak 2015, proyek Kota dalam Teater bukan hadir sebagai pertunjukan yang sekadar meminjam ruang, melainkan sebagai gerakan yang mengakar dan tumbuh di dalamnya. Ia tidak mengepung penonton dengan dinding hitam dan tirai beludru, tetapi membiarkan cahaya mentari, debu jalanan, dan bunyi klakson menjadi bagian dari dramaturgi. Kala Teater memilih jalan yang tak biasa: menjadikan kota sebagai panggung, warga sebagai naskah hidup, dan ruang sebagai tubuh yang dipertontonkan sekaligus dirawat.

Di tengah kemegahan perayaan-perayaan kota yang sering melupakan suara paling dasar dari warganya, proyek ini berjalan dalam diam yang menggedor. Ia menelusup ke tempat-tempat yang nyaris tak pernah dianggap “layak” bagi seni: beranda warga, halte yang bising, atap parkir pusat belanja, hingga badan jalan yang sibuk. Tapi justru dari tempat-tempat itulah, Kota dalam Teater melahirkan ruang yang paling jujur, ruang di mana seni dan hidup bertemu tanpa topeng.

Tahun 2025 menandai satu dekade perjalanan proyek ini. Sebuah tonggak yang bukan hanya memperingati waktu, tetapi juga mempertegas posisi: bahwa tubuh-tubuh warga adalah saksi kota, dan kota yang adil harus memberi tempat pada tubuh-tubuh yang selama ini tak terdengar. Delapan performans disuguhkan, menyulam keresahan sosial ke dalam tubuh para aktor dan ruang yang mereka jejaki. Tak ada dramatisasi yang dibuat-buat, tak ada estetika artifisial yang mengasingkan. Yang ada hanyalah tubuh manusia yang berdiri di hadapan kita; terengah, terluka, menahan, merapal, berjalan, dan diam.

Dalam melihat Kota dalam Teater, kita bisa kembali kepada pemikiran Victor Turner, seorang antropolog yang membongkar batas antara ritus dan teater. “Drama sosial” adalah sebutan Turner untuk menggambarkan bahwa setiap masyarakat memiliki sebuah narasi konflik dan transisi yang hadir melalui ritus dan simbol. Proyek ini tidak hanya menyajikan cerita, tapi memproduksi ulang kondisi ambang (liminalitas) dalam kehidupan kota: banjir yang berulang dan tak pernah selesai, pete-pete yang menyerempet jiwa, stigma yang membungkam perempuan pengemudi ojek daring, dan tubuh-tubuh yang tak pernah tercatat dalam data resmi. Performans dalam proyek ini menjadi ritual peralihan yang mengguncang struktur sosial kota, membuka ruang kontemplasi dan kemungkinan transformasi.

Tubuh dalam teater ini bukan sekadar alat ekspresi; ia adalah naskah itu sendiri. Kita teringat pada Judith Butler, yang melihat identitas sebagai hasil dari performativity, yakni tindakan yang diulang dan dimaknai dalam ruang sosial. Ketika seorang perempuan menyuarakan kekerasan struktural dalam performans Tubuh yang Tak Pernah Dicatat, ia tidak sedang memerankan tokoh, tetapi menjalani peran hidup yang selama ini diremehkan dan disingkirkan. Tubuhnya menjadi aksi politik, menjadi panggung perlawanan terhadap sistem yang maskulin, tidak adil, dan represif.

Dalam dimensi estetika, proyek ini menyatu dengan pemikiran Umberto Eco tentang open text sehingga menjadi open work. Tidak ada satu tafsir tunggal dalam Kota dalam Teater. Penonton tidak hanya melihat, tetapi mengalami. Mereka berjalan bersama aktor, menatap dari dekat, mendengar bisikan, merasakan panas aspal dan dingin beton. Teater ini bukan hanya narasi yang ditampilkan, tetapi pengalaman yang dibagikan. Penonton menjadi bagian dari makna, menjadi co-creator dari realitas yang dipertunjukkan.

Inilah bentuk paling radikal dari teater yang hidup. Bukan sekadar representasi, tapi partisipasi. Penonton bisa saja tiba-tiba menjadi saksi, lalu berubah menjadi pelintas, lalu menjadi bagian dari arus cerita. Ini mengingatkan kita pada gagasan Allan Kaprow dan Happening, yakni seni yang mencairkan batas antara panggung dan dunia, antara estetika dan etika. Performans-performans dalam proyek ini tidak untuk ditonton dari kejauhan, melainkan untuk diresapi dari jarak intim. Bahkan, kadang-kadang, tanpa sadar kita sudah berada di dalamnya.

Semangat ini juga bergema pada praktik Tino Sehgal, yang menggantikan objek seni dengan pertemuan, percakapan, dan pengalaman tubuh. Kala Teater, seperti Sehgal, menolak estetika benda dan memilih estetika kehadiran. Mereka tidak memberi kita lukisan untuk dikagumi, melainkan tubuh untuk dirasakan. Mereka tidak menawarkan jawaban, tapi menggiring kita pada kegelisahan, keraguan, dan akhirnya: kesadaran.

Secara filosofis, proyek ini menantang narasi dominan tentang kota. Dalam logika modernitas, kota dibayangkan sebagai ruang fungsional; jalan untuk kendaraan, bangunan untuk kerja, taman untuk rekreasi. Tapi Kala Teater menghidupkan kembali kota sebagai ruang simbolik: penuh luka, ingatan, dan potensi imajinasi. Di sinilah kita bertemu dengan gagasan Henri Lefebvre tentang the right to the city, yakni hak warga untuk merebut kembali makna atas ruang yang telah dikonstruksi secara teknokratis. Performans-performans ini bukan sekadar pementasan, tetapi bentuk reclaiming terhadap kota: mengangkat suara yang selama ini diredam, menampilkan wajah-wajah yang terpinggirkan, dan menyusun kembali peta kota dari sudut pandang mereka yang nyaris tak terlihat.

Perhatikan bagaimana Tubuh Terik mengambil latar di Benteng Rotterdam, ruang kolonial yang kini menjadi tempat artikulasi penderitaan ekologis. Atau Beri Kami Selamat, yang menghadirkan pete-pete sebagai ruang performans sekaligus simbol kekacauan transportasi publik. Atau Paksa Pasrah, yang memulai performans dari studio Kala lalu berarak ke lapangan, seolah tubuh-tubuh pekerja harian itu sedang mengklaim kembali ruang kota yang tak pernah menjamin keselamatan mereka. Pilihan ruang ini bukan estetika semata, melainkan strategi politik.

Dan dalam sepuluh tahun perjalanan ini, Kota dalam Teater telah tumbuh dari sekadar pertunjukan menjadi arsip sosial yang hidup. Ia menyimpan fragmen sejarah kota yang tak tercatat dalam dokumen negara: ketakutan menghadapi banjir, pengabaian atas hak pekerja harian, keterasingan dalam perumahan kumuh, hingga tekanan psikologis akibat polusi dan perubahan iklim. Semua ini tidak disampaikan dalam bentuk laporan atau infografis, melainkan melalui tubuh yang bergerak, berbicara, menangis, dan diam. Tubuh yang tidak menuntut belas kasihan, tetapi mengajak untuk melihat, mendengar, dan bertanya.

Proyek ini bukan sekadar seni komunitas. Ia adalah teater kewargaan, teater pengingatan, teater perlawanan. Ia adalah ruang alternatif yang memberi suara pada yang tak terdengar, ruang yang memberi tempat bagi yang tak punya panggung. Dalam lanskap seni pertunjukan Indonesia, posisinya unik; bukan festival, bukan proyek seni musiman, melainkan ritus yang hadir setiap tahun untuk menyentuh tanah, menyapa peluh, dan menyuarakan luka kota.

Sebagai pembuka dari serial esai ini, kita diingatkan bahwa teater bukan pelarian dari realitas, tapi justru perjumpaan paling intim dengan yang nyata. Teater adalah cara kita menatap tubuh orang lain tanpa berjarak, mendengar napas mereka, dan dalam diam, berkata: aku mengerti.

Dan Kala Teater telah menunjukkan bahwa kota tidak hanya bisa dipetakan melalui GPS atau tata ruang, tapi juga melalui langkah kaki, peluh, dan ingatan. Dalam tubuh teater mereka, kota menjadi terbuka: bagi rasa, bagi luka yang lama membeku, dan bagi kita semua yang masih percaya bahwa seni adalah ruang untuk pulang.