Kilatan Tilang dan Kepasrahan Tubuh: Kota dalam Kekuasaan dan Keterpaksaan

Kilatan Tilang dan Kepasrahan Tubuh: Kota dalam Kekuasaan dan Keterpaksaan

Read Time:5 Minute, 31 Second

Bagian Kedua dari Serial “Kota yang Diperankan”

Oleh Darmadi H. Tariah

Makassar, 1 Mei 2025. Hari Buruh Internasional. Tapi di sudut kota ini, ada tubuh-tubuh yang tidak berdemo dengan spanduk atau pengeras suara. Mereka berbicara lewat diam, lewat gerak yang diulang tanpa henti, lewat tubuh yang membiarkan dirinya dibakar matahari. Hari itu, dua performans dari proyek Kota dalam Teater dipentaskan: Matalantas oleh Dwi Putra Mario dan Paksa Pasrah oleh Sabri Sahafuddin. Keduanya menghadirkan tubuh sebagai tempat di mana kekuasaan kota bekerja, tetapi juga sebagai titik mula perenungan dan perlawanan. Tubuh yang terseret dalam arus kota, tapi tak menyerah begitu saja. Tubuh yang bukan hanya “dipertontonkan,” tetapi hidup, terasa, rapuh, dan bermakna.

Matalantas: Kilatan Cahaya, Tubuh yang Berputar, dan Kekuasaan yang Tak Terlihat

Di salah satu ruang pamer Riwanua, di Kompleks Perumahan Dosen Universitas Hasanuddin, Dwi Putra Mario memutar tubuhnya selama tiga jam di atas rug bundar enceng gondok. Ia bergerak searah jarum jam, tanpa pola pasti, tanpa poros stabil. Gerakannya tak seperti Tarian Sema para darwis sufi Maulawiyah yang agung dan terpusat, tetapi seperti putaran tubuh yang mencari arah dalam kekacauan. Setiap beberapa detik, cahaya lampu strobo menyala, menciptakan kilatan yang menyilaukan, menyakitkan, dan mengganggu.

Di sinilah kita bisa menghadirkan pembacaan dari Martin Heidegger. Dalam Being and Time, Heidegger berbicara tentang Geworfenheit, keterlemparan manusia ke dunia: kita tidak memilih untuk dilahirkan dalam kondisi sosial tertentu, kita terlempar begitu saja ke dalam dunia yang telah memiliki struktur, kekuasaan, dan aturan. Tubuh Mario, yang terus berputar tanpa arah di bawah kilatan cahaya pengawasan adalah representasi dari tubuh warga kota yang dilempar ke dalam sistem pengawasan digital yang tak bisa ditawar: kamera tilang elektronik yang dingin, objektif, tapi mencederai.

Kamera dalam konteks ini bukan hanya alat teknis, tapi simbol dari apa yang disebut Michel Foucault sebagai panopticon modern. Sistem pengawasan yang membuat warga selalu merasa dilihat, meski tidak tahu kapan tepatnya ia diawasi. Cahaya strobo menjadi metafora dari visibility regime, tubuh yang terus ditatap, dikontrol, tapi tak pernah diberi ruang untuk bicara. Mario tidak bisa berhenti berputar karena kekuasaan itu tidak memberi celah diam. Tubuhnya harus terus bergerak, seperti warga kota yang terjebak dalam ritme produktivitas, aturan lalu lintas, dan kebijakan yang dibuat tanpa dialog.

Namun di tengah kekacauan itu, Mario melaporkan sesuatu yang mengejutkan: pengalaman transendensi. Di balik gerakan yang melelahkan, ia sekali-kali mengalami semacam kesadaran spiritual, bahkan refleksi eksistensial tentang dirinya. Di sinilah kita menemukan paradoks: justru dalam situasi yang terlihat absurd, tubuh bisa menjadi tempat penyingkapan makna.

Heidegger menyebut pengalaman seperti ini sebagai momen authenticity, yaitu ketika manusia menyadari keberadaannya yang fana, lalu memilih untuk menjadi-diri-sendiri. Putaran Mario yang tampak tak berarah justru menggiringnya menuju perenungan terdalam: tentang tubuhnya, tentang dirinya, tentang dunia yang terus bergerak tapi mungkin kehilangan arah. Dengan demikian, Matalantas bukan hanya kritik terhadap sistem tilang elektronik, tetapi mediasi atas bagaimana tubuh bisa menjadi situs dari pengalaman eksistensial, di tengah kota yang terlalu sibuk untuk bertanya, “apa makna semua ini?”

Secara artistik, Matalantas juga menggugah karena memilih medium yang sangat minim: tubuh, cahaya, dan waktu. Tapi dari minim itu, ia justru menggambarkan keterjepitan warga kota yang hidup dalam pengawasan konstan, aturan yang tak pernah dijelaskan, dan teknologi yang tidak manusiawi. Mario mengulang gerak, tapi tiap putaran bukan hanya siklus; ia adalah pencarian makna.

Paksa Pasrah: Duduk dalam Terik, Mencabut Cabai, dan Memeluk Absurditas

Jika Matalantas memproyeksikan tubuh yang bergerak terus-menerus sebagai metafora keterlemparan, maka Paksa Pasrah menunjukkan tubuh yang duduk tak bergerak sebagai metafora dari keterpaksaan sosial. Di Lapangan Tala, pukul 13.30 siang, di bawah matahari Makassar yang menyengat dan membakar, Sabri Sahafuddin duduk membisu. Ia memisahkan cabai dari tangkainya, satu per satu, tanpa henti, hingga matahari tenggelam.

Jari-jari Sabri pedih. Kulit tangannya panas dan meradang. Duduk berjam-jam membuat pinggul dan tulangnya berdenyut kesakitan. Tapi ia bertahan. Bukan karena paksaan formal, tapi karena ia “memilih” untuk melanjutkan, demi satu hal: empatinya kepada buruh harian, khususnya para ibu pekerja informal. Empati itulah yang membuat performans ini menyentuh lebih dalam daripada sekadar kritik sosial. Sabri tidak hanya “menampilkan” buruh; ia menghidupi luka mereka, di kulit, di daging, di tulang, di kesadaran.

Di sini kita bisa membaca performans ini melalui Albert Camus, terutama dari karyanya The Myth of Sisyphus. Sisyphus dihukum para dewa untuk mendorong batu ke atas gunung, hanya untuk melihatnya menggelinding kembali ke bawah, dan mengulanginya selamanya. Tapi Camus berkata, “Kita harus membayangkan Sisyphus bahagia.” Karena dalam absurditas itulah, manusia memperoleh kebebasannya: dengan menerima absurditas itu dan tetap memilih bertindak.

Sabri duduk dalam absurditas itu. Ia tahu apa yang ia lakukan tidak akan mengubah kebijakan pemerintah tentang buruh, tidak akan menyelesaikan penderitaan kaum pekerja informal. Tapi ia tetap duduk. Ia tetap mencabut cabai. Dalam penderitaan itu, Sabri menemukan sesuatu yang tak dimiliki kekuasaan: makna. Makna yang lahir dari empati, dari keberpihakan, dari kesadaran bahwa penderitaan bisa menjadi ruang solidaritas.

Empati Sabri melampaui nihilisme. Ia tidak jatuh pada keputusasaan. Ia memilih untuk mengafirmasi penderitaan, bukan untuk merayakan kesakitan, tetapi demi menyuarakan yang sering tak terdengar. Di sinilah Sabri bertemu dengan pemikiran Emmanuel Levinas, bahwa tanggung jawab etis kita lahir dari perjumpaan dengan wajah yang lain, dengan luka yang lain. Sabri tidak menampilkan dirinya; ia menampilkan luka orang lain, melalui tubuhnya sendiri.

Performans ini juga menyentil logika pertunjukan: tidak ada dialog, tidak ada narasi, tidak ada interaksi langsung. Hanya tubuh yang menahan sakit dan mata yang menatap dari jauh, atau kerumunan yang berswagerak tanpa saling sapa. Tapi justru dalam keheningan itu, Paksa Pasrah berteriak paling nyaring: tentang sistem kerja yang menindas, tentang kondisi yang memaksa warga “pasrah” agar bisa bertahan hidup, dan tentang kekuatan empati sebagai bentuk tertinggi dari kesadaran sosial.

**

Kedua performans ini, yang dipentaskan pada hari yang sama, berbicara dari dua kutub gerak: satu berputar terus tanpa arah, yang lain diam terus tanpa henti. Tapi keduanya saling bersahut dalam gagasan besar proyek Kota dalam Teater: bahwa tubuh warga kota adalah titik paling konkret di mana kekuasaan, penderitaan, dan harapan bertemu. Bahwa kota bukanlah infrastruktur semata, tetapi lanskap luka dan keberanian yang bisa dipanggungkan, dipertontonkan, dan direnungkan bersama.

Di tahun ke-10 ini, proyek Kota dalam Teater telah menjelma sebagai teater kewargaan, yang memperlihatkan bagaimana tubuh menjadi arena perlawanan terhadap kota yang semakin abstrak, semakin teknokratik, dan semakin melupakan sisi manusiawinya.

Dalam Matalantas, tubuh berputar dalam cahaya pengawasan yang tak adil. Dalam Paksa Pasrah, tubuh duduk dalam penderitaan yang tak diakui. Tapi dalam keduanya, kita menemukan satu hal yang sama: tubuh tidak menyerah. Ia tetap bergerak, atau tetap bertahan, demi satu hal: agar kota tak melupakan bahwa ia dibangun bukan untuk kekuasaan, tapi untuk manusia.